Label

about me (2) CHILDHOOD (1) english (5) family (4) fiction (1) galau (8) gereja (3) jalan-jalan (1) jobseeker (1) junk (5) kuliah (1) memories (9) motivasi (1) prayer (1) quote (5) random (3) skripsi (6) teman (3)

Sabtu, 04 September 2010

PIKIRAN DALAM MIKROLET

PIKIRAN DALAM MIKROLET

Written by Desby Mian Berlianty Pasaribu

Wednesday, Sept1’ 2010_20.38 PM

Di suatu sore yang sendu..

Di salah satu moda angkutan umum.

Di antara ribuan kerumunan kendaraan bermotor yang beringsut memadati seluruh ruas jalan Ibu Kota Jakarta.

Rombongan mesin-mesin raksasa secara massive menuju satu arah secara bersamaan, dimana tak tersisa satu sentipun ruang kosong bahkan memenuhi bahu jalan.

Saat itu, langit sore Jakarta bertabur warna yang agak sulit dideskripsikan, berwarna orange-lembayung keemasan yang mempesona namun ternodai oleh polusi kendaraan bermotor yang tidak lulus uji emisi sehingga menelan perpaduan warna sempurna tersebut menjadi kusam dekil bak cairan hitam cumi-cumi yang tersembur keluar akibat terkejut.

Diantara gedung-gedung beton berlapis kaca yang menjulang tinggi seperti ingin menembus surga mengalahkan kehebohan dongeng menara Babel.

Diantara residu pembakaran bahan bakar fosil yang tak sempurna yang menggerogoti lapisan ozon bumi dan sukses menimbulkan hujan asam yang bersifat korosif.

Diantara pohon-pohon kota yang meranggas hingga hanya meninggalkan ranting tua seperti kehidupan yang gersang.

Diantara manusia-manusia berwajah lelah dan berpakaian kantor yang sedikit agak lusuh.

Diantara para seniman jalanan yang identik dengan anti-kemapanan tengah menikmati petikan ukulelenya sendiri dengan suara yang sumbang dan fals tak bernada, suatu penistaan dalam dunia seni.

Diantara warung-warung tenda bercahaya temaram dengan kabel sambungan langsung kepada tiang-tiang listrik PLN yang menghiasi sepanjang pinggir jalan.

Diantara suara-suara klakson mobil dan motor yang saling bersahut-sahutan seperti sekelompok pasukan paduan suara yang kehilangan konduktornya.

Diantara sampah-sampah basah jalanan yang menyeruak keluar dari tempatnya akibat kelebihan kapasitas, telah membusuk dan menyiksa indera penciuman dengan aromanya.

Diantara rentetan seriosa suara para penjaja makanan bis kota.

Diantara celoteh para jiwa-jiwa yang sedang mengalami gangguan psikologis akut.

Aku berada diantaranya...

Duduk dibagian paling belakang sebuah mikrolet merah menuju Bekasi dari Depok.

Menatap kosong menembus kaca mikrolet yang terlihat sedikit kusam akibat lapisan debu yang cukup tebal.

Memandangi drama dadakan yang biasa terjadi antara pukul 5 sore hingga pukul 7 malam.

Opera sabun yang sangat buruk dengan rating terbawah.

Mikrolet merah seperti enggan berjalan namun juga tidak dapat terus berhenti diam.

Padat merayap. Oh, Ibu Kota Jakarta...

“Kalau tidak macet, namanya bukan Jakarta” itulah pameo yang sering terdengar.

Anggaran pemerintah terbuang sia-sia akibat kemacetan.

Subsidi membengkak seperti kanker yang menggerogoti pada stadium akhir.

Ekonomi biaya tinggi, Indonesiaku.. menguras kantong para manusia berpenghasilan tetap.

Keringat membasahi sekujur tubuh, kini sore hari tidak sesejuk dua puluh tahun yang lalu.

Dunia sedang gencar meneriakkan pemanasan global, namun lebih banyak yang memilih apatis.

Waktuku, waktu mereka waktu dirinya, dan waktumu habis menguap tanpa hasil di tengah jalan raya beraspal ala negara dunia ketiga.

Kendaraan-kendaraan yang kehilangan kesabaran terlihat berair akibat temperatur udara yang diatas normal persis seperti suhu yang diatur derajatnya pada ruang sauna.

“Kapan aku tiba di rumah?” tanyaku dalam hati berbisik sendiri kepada penguasa semesta.

Lambat, lambat sekali, dan kejenuhan sudah mulai menghinggapi bagaikan jamur yang tumbuh subur pada musim penghujan.

Hingga aku tertidur, terbangun, tertidur lagi, terbangun lagi, kemudian lagi-lagi tertidur, terbangun lagi dan menyadari mikrolet merah hanya bergerak sekitar sepuluh meter saja.

Seperti bom waktu yang hanya tinggal beberapa detik tersisa akan meledak dan menghancurkan semuanya hingga berkeping-keping. Aku muak.

Andaikan aku memiliki kekuatan teleportasi atau mempunyai sebuah firebolt seperti Harry Potter, mungkin aku tidak perlu bersusah-susah seperti demikian. Imajinasi tingkat tinggi namun tidak terlalu berlebihan jika kau berada dalam situasi tersebut. Keadaan ini membuatku sedikit kehilangan pikiran warasku, namun aku tentu tidak ingin berakhir menjadi salah satu anggota asosiasi manusia yang mengalami disfungsi otak dan mental di daerah Grogol hanya karena deretan kendaraan yang sulitnya bukan main untuk maju satu meter.

Dua jam berlalu, saat-saat penuh tekanan tanpa dapat berbuat apa-apa.

Hal ini lebih membantai batin ketimbang mengerjakan soal fisika dengan formula super rumit yang diciptakan oleh para orang sinting di masa renaissance dulu, paling tidak kau masih tetap dapat melakukan sesuatu walaupun ilegal dengan melihat sebelah kanan atau kirimu untuk memperoleh jawaban atau membuat catatan kecil yang diselipkan diantara lembar soal.

Seseorang harus disalahkan untuk semua kekacauan ini.

Para elit birokrat yang menjelma menjadi siluman tikus got hanya bisa menghisap habis iuran rakyat kepada negara sehingga perkembangan infrastruktur tidak berbanding lurus dengan laju pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor.

Jakarta akan menjadi sebuah kota Nekropolis!! Menakutkan..

Wajar saja jika rakyat menjadi skeptis terhadap otoritas publik bangsa ini, walaupun tidak bermaksud untuk mendiskreditkan namun fakta berteriak sangat lantang. Ini sebuah tirani sadis..!!!

Menerima resiko sebagai penghuni komuter fanatik Ibu Kota Jakarta seperti layaknya suporter sepak bola yang rela berdesakan dan bergumul diantara berjuta rupa bau keringat pepesan manusia hanya untuk menyaksikan tim jagoannya bertanding. Namun pada akhirnya hanya menuai kecewa karena kekalahan yang seharusnya tidak terjadi dan berujung aksi anarkis antar kubu hingga vandalisme yang semakin menggila.

Hal yang hampir mirip dilakukan oleh para penghuni temporer kota Jakarta.

Aku transit dan berganti mikrolet biru muda..

Akhirnya aku baru merasakan angin sepoi-sepoi mampir mengisi ruangan sempit dalam mikrolet biru muda yang sedang melaju dengan kecepatan maksimal jalan tol, 80km/jam.

Aku masih tetap memilih duduk paling belakang dan kembali hanya menatap menembus kaca mikrolet. Sepertinya ini hobi baru yang aku temukan dan rasanya tidak terlalu konyol. Paling tidak, ini tidak lebih konyol dibandingkan Paris Hilton yang berjalan santai dengan pakaian branded mahalnya sambil mengajak kambingnya yang diwarnai pink disekitar Time Square!!!

Mikrolet biru muda terus berlari kedepan meninggalkan semua hal yang terlewati dan tertinggal dibelakangnya tanpa ada niat untuk menunggu sejenak.

Aku seperti melihat hidupku yang sedang terus berjalan menuju ke depan dan meninggalkan masa lalu.

Entah akan bermuara kemana pada akhirnya, namun hidup memaksa harus terus menuju ke depan.

Ku pikir, “Siapa bilang tidak boleh melihat kebelakang?”

Masa lalu adalah rangkaian dari cerita hidupku, mereka adalah rantai penghubungku dengan masa kini dan masa depan. Aku rasa hanya butuh beberapa tetesan pelumas berkualitas terbaik untuk membuatnya berjalan lancar dan mengurangi gesekan yang mungkin akan timbul.

Masa lalu tidak akan dapat dilepaskan dari diriku, maka sebagian jiwaku akan hilang bersamanya.

Kau boleh sekali-kali melihat dan mengintip masa lalu.

Kenapa tidak?

Masa lalu adalah guru yang akan mengajariku untuk lebih baik dan bijak di masa kini dan masa depan, seperti mengetahui kunci jawaban pada saat soal telah dikumpulkan maka kau akan belajar lebih teliti untuk ujian selanjutnya.

Masa lalu mengatakan agar aku tidak mengulangi kebodohan yang sama lagi.

Masa lalu hanyalah masa lalu...

Ia tidak akan dapat diperbaiki lagi, tidak akan kembali, dan tidak akan terulang, maka jangan terlalu lama berkubang dalam duka masa lalu.

Ada masa kini dan masa depan yang sedang menanti perhatianku.

Sesuatu yang lebih besar dan lebih berharga telah berbaris dalam antrian menunggu giliran kapan aku akan menjemput. Tentu ini tidak seperti antrian para rakyat jelata yang sedang mengemis mengharapkan satu kilogram beras kualitas terburuk yang turun dari mobil bak program pemerintah, sembrawut dan seperti cacing kepanasan berebut menggeliat dengan tingkat kebisingan volume maksimal akibat kelaparan. Memperlihatkan kebodohan tradisi suku barbar yang tidak memiliki peradaban yang elegan ditengah-tengah kaum intelektual.

Aku tahu, aku sekarang sedang berdiri diantara jembatan kayu yang rapuh dan goyah, transisi diantara dua pilihan.

Terus maju atau terus berkabung dalam masa lalu seperti orang idiot.

Tidak, aku bukan seorang idiot...

Hidupku singkat...

Hidupku hanya sekali...

Hidupku adalah sebuah hadiah istimewa...

Aku tidak dapat membiarkan diriku hanya berakhir di tong sampah, terdekomposit oleh makhluk dekomposer yang mengerikan tetapi berakhir seperti batuan alam yang lahir dari perut bumi yang telah diproses sehingga tercipta suatu batu permata yang sangat berkilau dan paling kokoh yang pernah ditemui di jagat raya yaitu berlian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar