Label

about me (2) CHILDHOOD (1) english (5) family (4) fiction (1) galau (8) gereja (3) jalan-jalan (1) jobseeker (1) junk (5) kuliah (1) memories (9) motivasi (1) prayer (1) quote (5) random (3) skripsi (6) teman (3)

Rabu, 08 September 2010

CAECILIA DEBORA PASARIBU

CAECILIA DEBORA PASARIBU

Written by Desby Mian Berlianty Pasaribu

Tuesday, September7’ 2010_ 2.37 PM


Aku tiga bersaudara, aku adalah anak pertama dari keluarga Pasaribu. Well, adik pertamaku bernama yang telah disebutkan diatas. Tahun ini, ia genap berumur 19 tahun pada bulan Januari lalu, hanya berbeda 2 tahun lebih muda denganku. Hmmm... agak beda memang wanita yang satu ini. Dirumah kami, yang memiliki huruf depan C hanya anak ini saja. Lihat saja huruf depan namaku (Desby) sama dengan huruf depan nama Mama (Dormi) dan adikku yang laki-laki (Amstrong) huruf depannya sama dengan huruf depan nama Papa (Arifin). Aku dan adik laki-lakiku suka mengecengin sesil (panggilan rumah) dengan memanggilnya “Cina” atau mempelesetkan namanya menjadi “Cao Cilia” karena ia yang memiliki kulit paling putih diantara para penghuni rumah bercat putih di Bekasi tersebut. Ia suka kesal dengan sebutan itu dan mengadu ke Mama dan akhirnya aku dan adik laki-lakiku itu mendapati pelototan setajam silet dan nasehat tiada henti dari Nyonya besar.

Namun kami tetap saja terus memanggilnya dengan pelesatan tersebut sambil tertawa terbahak-bahak jika ia sudah mulai cemberut melihat tingkah kami. Mama bilang nama itu adalah pemberian darinya, jadi sejarahnya dulu ketika Mama masih dalam masa kesusteran (dulu ia Khatolik dan hampir menjadi biarawati, untung bertemu dengan pria tampan dengan senyuman maut yang meluluhkan hatinya yaitu pria yang sekarang aku sebut Daddy) ia dibimbing oleh seorang suster berkewarganegaraan Belanda yang sangat baik bernama Suster Caecilia, Mama merasa sangat berutang budi sekali dengan wanita bule dengan mata sebiru langit tersebut sehingga untuk mengenang kebaikannya ia bermaksud mengabadikannya dengan memberi nama yang serupa untuk anak keduanya. Caecilia berarti orang kudus, klo Deboranya saya kurang paham.

Dulu, waktu kami masih tinggal di Sumatera Utara tepatnya Sidikalang, ketika aku berumur 4 tahun dan adikku berumur 2 tahun. Ia pernah terjatuh dari tempat tidur karena tergeser oleh Papa yang tidurnya sangat pulas sedangkan anak ini lasak sekali (bergerak terus), ketika ia terjatuh ia tidak menangis sama sekali hanya terdiam dan tidak bergerak sedikitpun, ketika Papa menyadari anaknya tidak berada disampingnya lagi dan mendapati ia sedang tergeletak dilantai dengan posisi badan tengkurap tak bergerak. Papa sangat panik, sungguh sangat panik. Ia mulai berpikir yang bukan-bukan, ia berpikir bahwa anak keduanya tidak bernyawa lagi. Kemudian ia berlari sekuat tenaga mencari tetangga yang saat itu terkenal sebagai ahli urut, sedangkan mama sedang bertugas menjaga toko obat. Mereka berdua menjadi sangat khawatir dan air mata mengalir lambat di wajah Papa saat itu. Ia merasa sangat bersalah karena lalai mengawasi buah hatinya. Setelah mendapatkan urutan barulah anak ini mengeluarkan suara tangis melengking yang sangat memekakkan dan perasaan lega mengisi relung hati mereka sebuah tanda bahwa anak ini masih hidup. Diantara kami bertiga anak ini yang paling lama tidak memiliki rambut, sampai umur 3 tahun masih botak! Ajaib!! Sehingga Mama setiap hari mengoleskan minyak kemiri kekepala anak ini berharap akan mujarab menumbuhkan beberapa helai rambut ditempurung otaknya yang berkilau dan berhasil. Buktinya sekarang rambutnya malah yang paling lebat diantara kami bertiga.

Ia adalah anak tengah dan entah mengapa ia yang paling dewasa diantara kami bertiga. Aku bahkan masih sering melakukan kekonyolan yang tidak pada tempatnya sedangkan, anak ini bertingkah dengan sangat wajar (menurut teoriku sesuatu yang berlebihan berarti kebalikannya). Papa sering menganggap adikku ini lebih pandai dariku dan overestimate atas dirinya. Bayangkan saja selama masa SMA ia selalu juara kelas bahkan juara umum disekolahnya yang terletak di Jakarta Timur sedangkan aku menunjukkan degradasi prestasi yang sangat kontras karena aku tidak pernah menjadi juara kelas apalagi juara umum (boro-boro...) bahkan selalu remedial dalam pelajaran IPA terutama Fisika (tidak pernah terlewat sekalipun) dan pernah menduduki peringkat 39 dalam ujian Kimia dari 40 anak, padahal aku jurusan IPA (memalukan sekali..). Sepertinya alasan Papa sangat berdasar jika melihat secara statistik progress akademis kami. Aku bahkan tidak tahu secara pasti berapa kali anak ini berpacaran, terakhir yang aku tahu dari adikku laki-laki ia pernah pacaran dengan cowo yang beda prinsip dan seminggu kemudian mereka putus. Wow, hubungan kilat rupanya! Anak ini adalah seorang yang paling betah menyembunyikan rahasia dari keluarga termasuk kepada orang tua, pernah waktu itu ia menerima beasiswa berprestasi dari sekolahnya dan ia baru memberitahu Mama dan Papa 2 bulan kemudian!! Gila! Klo aku, biasanya pada saat apply berkas beasiswa saja aku bercerita kepada mereka walaupun belum tentu pada akhirnya diterima dan kebanyakan memang menuai kecewa.. T_T Dan jika aku disuruh memilih untuk menceritakan rahasiaku dari antara miliaran manusia yang memadati planet ke tiga dari susunan tata surya ini, aku akan memilih adikku ini.

Ya, adikku ini memang agak tertutup untuk hal-hal demikian entah dari mana sifat itu menurun kepada anak ini. Ia selalu menyukai jenis musik yang aku suka, ketika aku sangat menyukai COLDPLAY dan ia mendengarkannya kemudian ia menyukainya, ketika aku sedang tergila-gila dengan THE CRANBERRIES maka virus itu juga menginfeksinya, ketika aku tanpa hentinya memutar satu album KEANE melalui MP3 handphoneku tak lama kemudian aku mendapati ia sedang asik mendengarkan lagu-lagu tersebut dari handphonenya, dan ketika aku terus menerus bersenandung Positiviy-SUEDE, tanpa sepengetahuanku ia telah bergerilya mencari lagu-lagunya yang lain dengan browsing di internet. Namun ia juga memiliki koleksi lagu lain seperti band-band lokal dengan musikalitas rendah yang banyak bermunculan bagaikan daun bertaburan mengotori halaman rumah, mereka bernyanyi dengan lirik yang membangkitkan hasratmu untuk mengeluarkan seisi makanan dari dalam perutmu, aransemen instrumen yang kehilangan harmonisasi dan telah memporak-porandakan standar internasional komposisi seni berkualitas tinggi yang telah disepakati oleh para komposer dunia, hingga vokalitas yang terlalu dipaksakan seakan sedang konstipasi. Aku suka marah jika anak ini mulai memainkan lagu-lagu mereka dari MP3 handphonenya dan dengan seketika merampas dan menggantinya dengan lagu-lagu Band Inggris kesukaan kami.

Banyak orang menyebut kami sangat berbeda dari penampakan wajah, ia terlihat lebih dewasa daripada aku sehingga banyak yang mengira bahwa ia adalah kakakku apalagi tubuhnya sedikit lebih tinggi dariku (lekap sudah kenistaan seorang kakak). Para manusia awam tersebut selalu berkata, “Kalian gak mirip ya?! Beda banget..!!!” Aku membatin sambil tersenyum paksa mendengar komentar yang tak berlandaskan konsep teori dan pemikiran yang tidak memakai rasional tersebut “Hellooo, yes-iyeslah, kamikan bukan kembar identik saudara-saudara sebangsa dan setanah air satu!!!” Padahal dulu ketika kami masih tinggal di Cilandak, Jakarta Selatan selama 8 tahun karena jarak usia kami tidak terlalu jauh, ia sering membelikan pakaian yang sama persis untukku dan adikku ini dan hanya dibedakan warnanya saja. Kembali ke memori belasan tahun yang lalu , ketika kami masih sangat imut nan lucu, ketika semua tetangga masih gemas melihat anak manis yang selalu terlihat rapi tersebut karena ibu mereka suka mendandani anaknya sehingga menjadi primadona lingkungan, mereka menganggap kami kembar lho!!!

Aku belum punya analisis yang pasti dari mana datangnya bakat mengenai manajemen keuangan dalam diri anak ini. Bagiku ia adalah bank berjalan dengan pinjaman tanpa bunga. Ya, dia sering menyebutkan aku boros dan aku tidak sedang menyalahkannya namun bagaimana lagi, toh aku juga mengeluarkan uang untuk kepentingan kuliahku. Salahkah? Papa dan Mama juga sering meminjam uang anak ini untuk keperluan tambahan dana segar dalam masa urgent dan kritis. Ia memang malaikat penolong dalam keluarga. Satu hal lagi yang talenta anak ini miliki adalah ternyata ia suka berorganisasi bahkan terlibat dalam BEM Universitasnya, Politeknik Negeri Jakarta. Ia sibuk sekali, sering kali ia pulang kostan malam padahal jadual kuliahnya hanya sampai jam 1 PM. Namun, ia berhasil mengejutkan seisi jiwa yang menaungi salah satu rumah yang bercat putih di pinggiran Bekasi dengan IP pada semester satu yaitu 3,70. Astaga, aku saja belum pernah merasakan sensasi memiliki Indeks Prestasi yang setinggi itu (lagi-lagi membuka aib diri dengan sangat sadar..).

Dirumah terdapat pembagian pekerjaan rumah karena kami tidak menyewa pembantu lagi (sebenarnya merasa trauma akibat perilaku pembantu zaman sekarang yang banyak maunya dan banyak tingkahnya bahkan lebih dari majikan). Pekerjaan yang ia sukai adalah mengepel dan menyeterika baju seminggu yang telah terisi dua keranjang penuh menjulang sambil mendengarkan MP3. Karena menurutnya mengepel itu lebih mudah dari pada menyapu yang mana harus dilakukan berulang kali karena debu yang sangat halus dan ringan suka beterbangan kembali jika ada sedikit angin masuk. Untuk masalah seterika ia menggunakan azas kenyamanan karena ia hanya duduk tanpa harus berpindah tempat sambil sesekali meneguk teh botol kesukaannya dan menyetel MP3 handphonenya. Jika sedang menyukai satu lagu tertentu, ia akan mensetting MP3 handphonenya menjadi single sehingga satu lagu itu akan terulang terus menerus secara otomatis. Satu band lokal yang sangat ia sukai adalah Sheila On 7, tidak terlalu buruklah dibandingkan dengan Kangen Band atau Armada (tidak, bahkan lagu mereka ada dalam list MP3nya!!!!). Pada dasarnya ia agak introvert. Anak ini selalu mendatangiku jika ingin membuat kalimat bahasa inggris, padahal ia bisa!!!

Ia suka memberikan kejutan-kejutan kecil seperti tiba-tiba saja membelikan aku sebuah satu stel pakaian untuk magang, membawakan makanan dari acara kampusnya untuk dimakan bersama, membelikan Mama masker kain bermotif, membawakan Papa sebuah kemeja Batik, dan meminjamkan buku senior untuk adik laki-lakiku, Jekky. Ia anak yang baik, namun sangat lemah. Ketika SMA dulu ia sering mengeluh pusing dan paru-paru sebelah kirinya sakit apabila sedikit kelelahan, kemudian Mama melarikannya ke Rumah Sakit yang mengharuskan dirinya mengonsumsi obat Jantung. Sekarang keadaannya sudah sangat baik, ia tidak pernah mengeluh sakit lagi kecuali periode bulanannya datang pada hari pertama (ini tentu kasus yang berbeda). Ia bercita-cita dalam waktu dekat ini akan segera melanjutkan ekstensinya untuk mendapatkan gelar sarjana Strata-1 segera setelah ia lulus pada tahun 2012 nanti di Universitas Indonesia, sehingga uang mingguan kostan ia pergunakan dengan sangat hemat karena ingin mengumpulkan uang untuk biaya kuliahnya. Ia juga ingin sekali memiliki laptop seperti kepunyaanku makanya ia meniru tingkahku yang memaksa dirinya lebih berhemat lagi, tapi ia sudah bilang padaku jika aku telah lulus kuliah maka laptopku itu akan aku pinjamkan full kepadanya (takut didahului oleh adikku yang laki-laki).

Aku membeli laptopku dengan kumpulan uang mingguan kostan yang diberikan Papa, selama 3 semester aku hidup pada garis kemiskinan yang jika digambarkan dengan kurva berdasarkan kuantitas makan perhari aku jelas pada posisi sumbu Y bawah yaitu minus. Aku tahu, anak ini diam-diam mengidolakan kakak perempuannya yang konyol, teledor, berantakan dan sering bertingkah seperti anak keterbelakangan mental ini. Ia merasa bahwa dibalik ketidakberesannya, ia memiliki semangat dan mimpi yang besar. Dulu aku tersentak dengan quote yang diucapkan oleh Anggun C. Sasmi (seorang penyanyi internasional asal Indonesia yang sekarang menjadi warga negara Perancis dan tinggal menetap di negara pusat mode tersebut), dahulu ayahnya pernah berkata yaitu “Jika kamu punya mimpi, bangun!!! Jangan kembali tidur.” Kalimat itu aku tulis dilangit-langit tempat tidurku sebagai motivatorku untuk menghadapi sebuah ujian terpenting penentu hidup dan gengsiku, yang menelan semua keinginan hasrat sosialku untuk berinteraksi dengan manusia lain dan tenggelam dalam buku-buku selama 15 jam perhari selama 6 bulan penuh. Setelah aku lulus dalam ujian yang sangat penting tersebut, maka saatnya anak ini untuk menghadapi ujian yang sangat penting itu dan kemudian mengikuti cara kakaknya terdahulu (karena dinilai sukses) dengan menuliskan quote dari penyanyi fenomenal yang sekarang telah menjadi ekspatriat dengan kulit eksotis ala kebanyakan orang Asia Tenggara tersebut di atas tempat tidurnya sehingga jika ingin tidur ketika berbaring maka ia akan langsung mendapati tulisan itu tepat berada di atas kepalanya dan sedang berkata, “Jika kamu punya mimpi, bangun!!! Jangan kembali tidur.” Sering sekali ia memakai baju-bajuku terlebih pada hari Minggu jika akan berangkat kebaktian di Gereja dan aku agak sedikit kesal, jika ia dan aku mempunyai pikiran yang sama akan memakai pakaian apa dan aku mendapatinya sudah memakai pakaian yang baru saja aku batinkan. Kata Mama itu bumbu-bumbu dalam bersaudara kandung. Terkadang ia lebih berpikir panjang dariku. Sungguh bakat alami yang luar biasa. Bagaimanapun nakal, culas dan cueknya dirinya, walaupun aku tidak pernah mengucapkannya jauh dilubuk hatiku aku sayang dan mencintainya..

ARIEF SURODJO

ARIEF SURODJO

Written by Desby Mian Berlianty Pasaribu

Tuesday, September7’ 2010 _ 17.43 PM



Tengah hari pada Kamis, Oktober16’ 2008, jam weker casio deep blue metalikku menunjukkan pukul 1.30 PM.. Hari ini, aku hanya ada satu kelas kuliah yaitu Pajak Atas Lalu Lintas Barang (sebuah mata kuliah yang banyak membahas mengenai aspek perpajakan atas ekspor dan impor barang melalui pelabuhan yang masuk dan keluar dari daerah pabean Indonesia antara lain yaitu PPh 22 impor, PPN, PPnBM, bea masuk dan cukai beserta dokumen-dokumen yang menyertai ekspedisi barang-barang tersebut seperti letter of credit, bill of lading, bank garansi, deposito umum, dll). Aku datang dengan napas terpenggal-penggal memasuki kelas yang terdapat di lantai 3 gedung E (sebenarnya gedung E adalah salah satu infrastruktur kampus yang dapat dikatakan tidak terlalu akomodatif sebagai ruang belajar karena pertama, kursi personal yang mejanya terdiri dari kayu yang belum terkena pernish dan masih berwarna coklat asli yang mungkin umurnya lebih tua dariku atau mungkin kursi itu telah bertengger sejak angkatan pertama kampus ini ada pada zaman kolonial Belanda masih berkuasa, ukurannya tidak normal karena dudukannya lebih rendah dari kursi kuliah pada umumnya serta tidak nyaman dinilai dari segala sudut yang melekat pada bangku tersebut, sungguh terlihat primitif; kedua, penerangan.. aku hampir sulit membedakan apakah ini kelas atau kamar mayat untuk keperluan otopsi korban pembunuhan berantai karena gelap sekali dan remang walaupun terdapat sepasang lampu neon panjang yang terpasang dilangit-langitnya yang rendah, namun tetap saja cahayanya tidak membantu penglihatan kami yang sedang merekam ceramah dosen dalam tinta hitam diatas kertas putih binder bergaris, kemudian efek horor makin terasa ketika ruang kelas sepi dan pendingin ruangan membekukan kulit yang membangkitkan bulu roma seketika, seperti memasuki dunia lain; ketiga, tata letak gedung yang sepertinya pada saat pembangunan tidak menyewa jasa konsultan ahli dalam perencanaan tata letak, memang terdapat jendela disepanjang sisi kiri kelas yang tingginya sekitar 1 meter, tapi apalah guna jika yang kau pandang hanyalah gedung F yang terletak disebelah gedung prasejarah ini yang jaraknya tidak lebih dari 5 meter, hal ini menghalangi cahaya matahari untuk menyelinap kedalam ruangan; keempat, bayangkan pada sebuah kampus yang katanya paling tersohor ketenarannya bahkan sampai ke pelosok papua ujung timur sana tidak memiliki perlengkapan teknologi seperti in-focus, layar pemantul, dan laptop di dalam kelasnya!! Padahal fasilitas tersebut sudah tersedia di gedung-gedung lain di fakultas ini, hal ini yang sulit kumengerti. Serius. Sehingga jika dosen yang telah mempunyai bahan dalam bentuk power point dan berkeinginan menyampaikan materinya dengan peralatan milenium tersebut harus meminta ketua kelas untuk mengambilkannya di departemen, it’s wasting time).

Baiklah kurasa cukup untuk berkomplain ria mengenai keburukan gedung tersebut walaupun masih banyak keburukan lainnya yang belum terungkap seperti kasus para penggelap pajak di negeri mimpi. Karena bagaimanapun aku harus terus menghabiskan waktu semester 3 ku digedung tersebut dan mencoba ikhlas (walaupun sulit sekali rasanya) menerima nasib buruk tersebut. Well, pokok pembahasan dari cerita ini sebenarnya adalah seorang pria tua yang termahkotai helai-helai rambut putih seperti Santa Claus yang selalu hadir pada saat natal dan membagikan kado kepada anak-anak baik diseluruh dunia pada malamnya melalui cerobong asap, namun pria ini tidak berjanggut panjang menjuntai di dagunya, tidak datang secara mengejutkan dengan berteriak “Ho, Ho, Ho..” melalui cerobong asap, dan tidak memakai pakaian yang serba merah kedalam kelas. TIDAK!! Ia seorang pria yang berwajah sangat ramah namun sangat tua yang seharusnya ia sudah tidak pada waktunya lagi berkeliaran di kampus, datang berpakaian rapi ala seragam guru pada umumnya yaitu kemeja bahan biru dongker yang berkerah dengan setelan celana dengan warna dan bahan yang senada, membawa tas koper jinjing hitam lapuk yang pada bagian depannya sudah terdapat kerutan persis seperti keriput yang menghiasi wajah ramahnya, berkacamata lensa plus yang besarnya tidak normal karena hampir menutupi seluruh wajahnya, pria yang berpostur tubuh lumayan tinggi dengan penampilan yang super sederhana dan selalu membawa payung panjang!!

.......................

Aku tiba dikelas dan terkejut dengan sangat karena pria tua yang berjalan lambat seperti kura-kura yang telah hidup ratusan tahun tersebut belum memunculkan batang hidungnya di depan kelas yang seperti kamar jenazah rumah sakit. “Ini tidak biasa..,” aku membatin sendiri. Karena beliau adalah salah satu dosen yang dikenal sangat on-time. Tumben sekali hari ini ia telat. Kemudian aku bertanya kepada seorang teman yang tengah duduk santai sambil memegang handphonenya dan aku mengambil tempat sembarang disampingnya sambil meletakkan tas, “Eh, jeng.. Pak Surodjo kemana? Tumben banget belom dateng!” dan tanpa menoleh ia hanya menjawab dengan 2 kali gelengan kepala yang menandakan dirinyapun tak tahu dimana pria tua itu sekarang dan kembali sibuk dengan handphonenya untuk berpesbuk. Oh, tidak, ternyata hasrat alamku memanggil untuk melakukan ritual kecil di rest room, maka aku keluar kelas dan mendatangi ruangan yang menjadi saksi bisu setiap kali aku melakukan ritual suci tersebut, terletak di ujung kelas. Selesai dari ritual tersebut dan aku merasakan sensasi kelegaan yang luar biasa. Ketika aku ingin kembali ke ruang kelas, tiba-tiba mataku tertuju pada satu ruangan kelas gelap dan kosong dengan satu pintu terbuka setengah, aku melihat sebuah sosok yang tergambar dalam siluet hitam didalam ruangan kelas tersebut. Sontak aku kaget setengah hidup, ku pikir aku sedang melihat suatu penampakan makhluk dari kehidupan baka di siang bolong. Namun, aku memundurkan beberapa langkahku kembali dengan tanpa suara yang teredam dalam sepatu kets ADIDAS abu-abu dekil pemberian Mama pada saat aku menjadi pelajar kelas 2 tingkat atas dulu. Sosok itu terdiam terpaku tanpa gerakan sedikitpun dan melontarkan pandangannya keujung kelas yang kosong dengan tanpa cahaya lampu neon panjang yang menyala. Ia duduk seorang diri di dalam keremangan mengarahkan tubuhnya menghadap barisan bangku kuliah kosong yang tidak kalah terpakunya dengan sosok itu. Aku memberanikan diri melongok kedalam, suasana lorong gedung pada saat itu sangat sunyi dan hanya aku yang sedang mempertaruhkan imanku untuk sebuah rasa penasaran yang menyerbu tiba-tiba dan tidak dapat kukendalikan dibawah cahaya lampu oranye ber-watt rendah yang menambah suasana horor seperti sedang berada di dalam gedung rektorat tingkat tujuh dimana para mahasiswa bengal mengakhiri karir mereka tanpa gelar, alias Drop Out.

....................

“Bingo!!” Aku berteriak dalam hati dengan penuh kelegaan karena mendapati sosok dalam bayangan siluet hitam tersebut bukan hal buruk seperti imajinasiku. Ia adalah Tuan Arief Surodjo, Dosen yang seharusnya telah mengajar diruang kelas E.201 dari 20 menit yang lalu ternyata dalam sunyi yang mencekam dan kesabaran tingkat tinggi menunggu kedatangan mahasiswanya yang tidak satupun muncul di ruang kelas E.204. Kemudian dengan sedikit keraguan melangkah masuk, aku menghampirinya dan berkata dengan suara yang hampir berbisik, “Pak, ruang kelasnya di 201..” Beberapa detik kemudian ia baru tersadar dari lamunannya dan menjatuhkan tangannya yang dari tadi menopang dagunya dengan kacamata yang telah meluncur hingga pangkal hidungnya namun tanpa ekspresi, lalu berdiri dengan senyum terukir tipis di bibirnya menatap ramah kearahku dan mengikutiku keluar ruangan angker tersebut.

Dikelas suasana bak pasar ikan yang heboh di pagi hari Muara Angke, para mahasiswa yang perilakunya tidak jauh beda dengan anak TK; ada yang menaikkan kaki dan menyilangkannya di kursi meja yang ia duduki bak seorang bos sebuah perusahaan besar, ada yang menengkurapkan kepalanya ketiduran karena bosan, ada yang sedang bergosip dilantai ubin, ada yang sedang lempar-lemparan binder, ada yang sedang asik sendiri dengan laptop, ada yang sedang melamun sambil mendengarkan lagu melalui MP3 Playernya, ada yang sedang bertelepon dengan pacarnya, ada yang sedang membuat lelucon dan mempraktekkannya di depan teman-temannya dan semua itu terhenti seketika bagaikan pemadaman listrik oleh PLN yang mematikan seluruh peralatan elektronik sehingga tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Semua kembali ketempat duduknya masing-masing tanpa dikomando dan duduk dengan manis.

......................

Pak Surodjo mulai kembali berdongeng mengenai alur masuknya barang dari luar daerah pabean Indonesia ke dalam daerah pabean Indonesia sambil sekali-kali menggambar diatas whiteboard yang sekarang tidak dapat dikatakan lagi white (putih) karena warnanya sudah seperti kain pel yang dipenuhi oleh debu dari rumah yang telah ditinggali selama satu dasawarsa dan menuliskan beberapa istilah bahasa Belanda dan Inggris, namun lebih banyak menghabiskan waktunya di kursi kebesarannya sebagai manusia yang paling pintar di kelas pada saat itu. Tidak lama kemudian ia menerima sebuah telepon dari handphonenya yang bernada dering alunan musik instrumen jawa yang lembut dan lambat. Kemudian ia mengangkat telepon genggamnya tersebut yang sedari tadi tidak berpindah tempat dari sejak pertama kali ia diletakkan yaitu dimeja tepat di samping dimana ia membaringkan payung panjang hitam polosnya.

Kemudian ia menekan tombol jawab yang berwarna hijau untuk menjawab telepon yang masuk dan berkata “Haloooo...” sambil mengayunkan tangannya dengan sangat lambat sebelum alat canggih tersebut tiba disamping telinganya dan ketika alat canggih tersebut sudah tiba ditelinganya suara bassnya pun telah teredam. Aku dan yang lain memperhatikan tingkah yang tidak biasa dari dosen tersebut sambil menahan tawa tanpa suara, geli sekali. Ia berucap “Halo” sebelum handphone nokia seri jadulnya tiba di tempat seharusnya ia diucapkan!!! Dulu aku sempat tertipu oleh penampakan wajah kasar Pak Surodjo yang seperti permukaan rembulan yang mengambil alih giliran tugas ketika sang surya mulai lelah, dalam prediksiku saat itu, beliau adalah salah seorang yang menganut sistem keteraturan sosial dalam bentuk marga dimana suku tersebut hidup disalah satu domain teritorial Sumatera yang tersohor karena terdapat sebuah pulau ditengah danau tekto-vulkanik yang masuk dalam jejeran danau terbesar didunia. Ternyata aku meleset total ketika ia mulai berdongeng dan memperkenalkan dirinya dengan dialek khas orang asli nama pulau dimana aku hidup sekarang yaitu Jawa, tepatnya Jawa Tengah.

...................

Beliau adalah orang yang sangat langka, satu-satunya didunia dan yang lebih terhormatnya lagi ia berada di Indonesia. Ia harus dikonservasikan!! Dimasa kejayaannya dulu ia bekerja di salah satu instansi pemerintah yang berkonsentrasi pada mata kuliah yang sedang ia ajarkan saat ini yaitu Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Ya, tidak diragukan lagi kapabalitasnya dalam hal penguasaan materi mata kuliah tersebut karena ia dahulu adalah seorang praktisi yang berubah haluan menjadi akademisi. Satu-satunya dosen yang tidak pernah menunjukkan emosinya dan selalu berbicara dengan frekuensi yang sama, entahlah sulit sekali mengerti apa yang ia rasakan. Anehnya, seberisik apapun kelas ia seperti kereta api yang tidak perduli apa yang ada didepannya, gas trussss... Sudah 3 kali sesi kelas, ia terus saja tanpa sadar mengajarkan materi yang telah ia ajarkan pada minggu sebelumnya dan catatan kami seperti tumpang tindih karena penjelasan yang sama dari minggu ke minggu. Tidak hanya itu, ternyata ia juga cukup sering melakukan tindakan abnormalnya yang menunggu mahasiswanya datang dikelas yang salah dan masih dengan gaya yang sama ketika menerima incoming call pada handphonenya. Aku curiga bahwa ia telah mengidap penyakit pikun akut. Satu-satunya dosen yang datang pada saat ujian ketika hujan menyerbu dengan naik ojek dan melindungi dirinya dengan payung yang biasa ia bawa kemana-mana dan ketika tiba dikelas dengan basah kuyub ia melepaskan sepatu fantopel hitamnya, kemudian melepaskan kaos kakinya yang basah dan menjemurnya dengan santai di bawah kursi layaknya sedang menjemur pakaian dirumahnya, jadilah ia bertelanjang kaki. Sepertinya ia kedinginan karena seluruh pakaiannya basah ditambah pendingin ruangan yang di set dengan sangat rendah terlihat dari sedikit gertakan gigi yang gemetar namun masih berjuang untuk mengawasi para mahasiswanya menjalani kewajiban besar untuk lulus semester tiga. Beliau memang baik dan sangat sabar tapi siapa yang menduga bahwa dirinya adalah seorang tenaga pengajar tingkat universitas yang sangat pelit nilai dengan memukul rata semua nilai kelas yaitu B+. TIDAAAAAAAAAAAAAAAKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK......!!!!

Ini sungguh mengesalkan ketika aku mendapati transkrip nilai semester 3 dan meluapkan beberapa letupan emosi yang seperti petasan cabe. Sekarang aku telah memasuki semester tujuh, aku benar-benar sudah tidak pernah mendapat kabar dari dosen fenomenal tersebut bahkan melihat batang hidungnya dikampus saja tidak. Mungkin ia pada akhirnya sadar bahwa sudah saatnya ia menikmati masa tuanya untuk beristirahat atau mungkin menghabiskan waktu jalan keluar negeri... mungkin...

Senin, 06 September 2010

THE TRUE LOVE

They are my God in Earth..
The ones that I love a lot.
The ones that I do not want to hurt
The ones that I respect with all my pride
The ones that I always make to smile

They are my beloved parents..

Dormi Sinaga and Arifin Pasaribu

THE PASARIBUS'


From left to right:
My younger brother (Amstrong Jekky Pasaribu), My younger sister (Caecilia Debora Pasaribu), and Me (Desby Mian Berlianty Pasaribu)

Retreat HKBP

Retreat HKBP Jati Asih on July 30- Augut1' 2010 at Puncak Kana, BOGOR.

I felt so much grateful knowing you guys.
You have painted my life with various of color.
You have carved burst of smile on my face..
You have brought the joy on overcast day.
I knew those were sincere.
Thanx..

:)







WAKTUNYA TELAH TIBA

WAKTUNYA TELAH TIBA

Written by Desby Mian Berlianty Pasaribu

Monday, August30’ 2010_06.56 AM


Hari ini aku terbangun di pagi hari yang cukup cerah dan mendapati aku sedang tidak dikasur rumahku lagi, aku dikamar kostan! Ketika aku membuka mata, aku baru sadar bahwa hari ini adalah hari pertamaku masuk kuliah pada semester tujuh! Wow, it’s kinda hard to believe! It’s been three years, i’ve been spending my life time study at University of Indonesia. Rasanya baru hari kemarin aku menjadi mahasiswa baru dengan atribut ospek yang serba heboh dimana-mana, name tag besar berbentuk tiga jari terlaminating (melambangkan 3 jurusan administrasi yaitu Niaga, Negara, dan Fiskal) berwarna orange yang melambangkan warna Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik menggantung terekspose di leher, memakai jaket kuning almamater kebanggaan selama satu semester dilingkungan kampus (namun menjadi memalukan jika dipakai terus-terusan, sangat memalukan!!), mendapatkan bola makian dan muntahan emosi dari para senior, berburu tanda tangan senior, aturan implisit mengenai pelarangan makan di kantin bagi junior, perasaan terintimidasi yang selalu menghantui dalam semester awal kuliah. Itu semua sangat seru!! Seperti orang kampung masuk kota, seperti anak ABG yang baru saja mengenal kehidupan orang dewasa dan menemukan banyak hal baru. Kami adalah anak SMA yang baru saja lulus dan sedang menikmati masa transisi menjadi sekelompok manusia yang kini telah menyandang predikat “mahasiswa.” Hari pertama dikampus diawali dengan OKK (Orientasi Kehidupan Kampus), aku ingat angkatanku adalah angkatan paling banyak lulus SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) saat itu sekitar 4.000 orang banyaknya. Seperti keluar dari tempurung kelapa, aku baru menyadari bahwa Universitas Indonesia adalah miniatur bangsa Indonesia. Terdapat banyak sekali teman dari berbagai daerah dari seluruh penjuru negeri ini, dari orang Aceh, Batak, Padang, Jambi, Palembang, Lampung, Jawa, Jakarta, Yogjakarta, Bali, Kalimantan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Maluku, Bangka, bahkan yang paling timur Papua dan masih banyak lagi. Mereka berduyun-duyun datang ke Depok, Jawa Barat atas satu kewajiban besar dan membawa satu kebanggaan yang luar biasa karena telah berhasil melalui tes seleksi masuk perguruan tinggi yang super ketat dan sulit, menjadi seorang mahasiswa dari sebuah Perguruan Tinggi yang paling diidamkan dan diimpikan oleh seluruh murid SMA tingkat akhir seseantero Indonesia raya. Aku dapat merasakan semangat yang memenuhi atmosfer kampus saat itu karena, “Hei, aku juga salah satu dari mereka!” Seluruh jiwa muda yang sedang bergelora dikumpulkan dalam satu ruangan yang sangat besar dan luas yaitu Balairung. Sebuah gedung berarsitektur atap jawa joglo yang berada tepat menghadap danau yang paling besar, berdampingan dengan gedung rektorat yang menjulang paling tinggi dari semua gedung-gedung bernuansa jawa di kampus ini. Balairung adalah tempat yang sangat dikeramatkan karena disinilah perjalanan akhir dari seorang mahasiswa akan dilepaskan secara resmi dengan memakai toga tiap tahunnya. Tempat dimana para mahasiswa tersebut akan selalu meluapkan perasaan haru birunya ketika mendengarkan paduan suara dalam jumlah massive dari juniornya yang menyanyikan beberapa lagu seperti Genderang UI, Rayuan Pulau Kelapa, Mars UI, dan lagu perjuangan. Perasaan yang sangat dramatis karena perjuangan di Kampus Perjuangan telah selesai dan saatnya menghadapi hutan rimba sebenarnya yaitu dunia kerja. Kami, para mahasiswa baru semua duduk bersila di lantai keramik coklat ruangan itu dengan satu tujuan bernyanyi untuk keberhasilan para senior pada hari wisuda mereka nanti. Kegiatan tersebut dibuka oleh seorang pria mungil paruh baya dengan kepala yang sudah mulai membotak pada sisi keningnya yang membuat efek kilau yang memukau, memakai kacamata lensa plus dengan rantai bergantung dileher, perut sedikit agak menjulang buncit, berpakaian rapi dengan seragam ala pegawai negeri berwarna coklat dengan membawa tongkat hitam yang berukuran kira-kira 40 cm. seperti seorang penyihir. Berdiri diatas podium dengan beberapa ketukan tongkat yang menghantam meja podium yang terbuat dari kayu untuk meminta perhatian seakan sedang membaca mantra. Ia berkata, “Selamat datang di Kampus Perjuangan, para pejuang muda!!” Beliau adalah konduktor kami!!

.................

Aku adalah seorang mahasiswi Universitas Indonesia, program studi Ilmu Administrasi Fiskal (Perpajakan Program Strata-1). Aku angkatan 2007, semua memori masih terekam jelas dalam otak ini. Masa-masa menjadi penghuni baru kampus ini. Jumlah kami sebanyak 80 orang pada awalnya, namun berkurang (bahkan pada semester 1) menjadi hanya sekitar 70-an karena beberapa diantara kami memutuskan untuk pindah ke salah satu Sekolah Tinggi pemerintah yang mengkhususkan diri dalam bidang perpajakan yang memiliki program ikatan dinas dengan jenjang pendidikan Diploma-3 yang terletak di daerah Bintaro. Begitulah kami. Kami terbagi dalam 2 kelas yaitu Fiskal A dan Fiskal B. Tidak bermaksud untuk membanggakan Fiskal A (aku salah satu didalamnya), namun semua anak yang lulus PMDK (para siswa SMA yang dipercaya oleh UI untuk menjadi mahasiwa tanpa harus melewati seleksi ujian masuk seperti siswa kebanyakan karena prestasi akademiknya yang luar biasa selama disekolah, bisa dikatakan sebagai reward untuk mereka yang telah mempersiapakan diri dari jauh hari). Aroma kompetisi di dalam kelas semakin terlihat dan terendus dengan sangat sengit hari demi hari (Fiskal B pun demikian tidak berbeda jauh). Teman-teman yang berasal dari daerah yang berbeda membawa keunikannya masing-masing mulai dari cara bahasa dengan dialek daerah yang masih sangat kental, cara berpakaian, selera jenis musik (beberapa ada yang sangat mengidolakan lagu-lagu melayu), falsafah hidup, dll. Sangat menyenangkan mengenal orang-orang seperti mereka. Anak daerah dikenal dengan manusia yang berhati tulus karena mereka belum terkontaminasi oleh gaya hidup orang kota walaupun demikian tidak berarti menutup kemungkinan terjadinya penyimpangan diantara mereka. Walaupun kompetisi sangat kental tapi kami bermain dengan fair.

........................

Aku hanyalah seorang diri yang berasal dari sekolahku yang berhasil lulus yaitu SMA Negeri 6 Jakarta, Bulungan. Perasaan terasing dan sendiri tentu tidak luput dari diri ini karena kebanyakan mereka yang sekarang ada dikelas bersamaku biasanya sudah memiliki teman karena berasal dari sekolah yang sama. Tapi kesendirian itu tidak berlangsung lama karena aku anak yang cukup mudah beradaptasi dan bergaul, dengan segera aku telah mendapatkan peer group. Kehidupan kampus buatku adalah satu fase dimana aku dapat merasakan semua hal yang belum pernah aku rasakan selama menjadi anak SMA dulu, terkadang aku mengidentikkannya dengan kebebasan dan pencarian jati diri. Kurang tepat rasanya bila disebut “mencari” jati diri, aku lebih setuju “pembentukan” jati diri. Pada saat kuliah, aku baru merasakan rasanya hidup terpisah dari orang tua karena aku kost disekitar kampus untuk mempermudah mobilisasi aktivitas. Banyak cerita yang terjadi, suka, duka, tawa, tangis, dan cinta. Aku cukup sering menginap di kamar temanku (perempuan pastinya) tanpa sepengetahuan orangtuaku, dulu ketika aku masih menjadi pelajar tingkat atas aku sama sekali tidak diizinkan menginap dirumah teman. Bisa jajan dan memilih makanan sesukanya atau memilih untuk tidak makan. Pulang dari kampus hingga sore hari, pergi nonton ke bioskop, melarikan diri dengan teman ke Bogor untuk wisata kuliner, atau menginap selama tiga hari disalah satu rumah temanku di Cikeas untuk membakar ikan dan berenang, wisata outdoor, dan lain-lain. Bolos kuliah dan memilih untuk nonton DVD dirumah teman. Berlama-lama di laboratorium komputer kampus untuk internetan gratisan. Berselisih dengan dosen maupun teman. Kehilangan teman. Kasih tak sampai kepada gebetan. Berpakaian sesukanya tanpa harus terbatas dengan seragam. Hanya membawa sebuah binder ke kampus tanpa membawa alat tulis. Aku hanya ingin bersenang-senang di masa mudaku ini selama aku masih diberi kesempatan untuk mengumbar tawa dan melukiskankannya dengan paling lebar yang aku bisa diwajah ini. Kehidupan anak muda tidak akan lepas dari hal romantisme percintaan, menyukai lawan jenis adalah kesenangan lain yang telah Tuhan anugerahkan kepada manusia. Ya, banyak pria bertaburan di kampus mulai dari yang paling ganteng dan gaul dengan setelan pakaian yang sedang trend saat ini; yang bertampang biasa saja dengan pakaian yang tidak kalah biasanya dengan tampangnya; yang sedikit tidak enak dipandang tetapi bertingkah sangat cool (it’s a huge disaster!!); yang berpenampilan alim dan diidentikkan dengan para pria yang rajin beribadah dengan memakai sendal gunung, tas gemblong yang besar, berkemeja lengan panjang dan celana bahan yang yang digulung menggantung hingga mata kaki; yang bertampang seperti autis dengan mulut setengah terbuka karena sangat sibuk dengan laptopnya, pemanfaat sejati hot-spot kampus yang rela pojokan sendiri hingga malam hari, demi gratisan!!; para pria yang berpenampilan abstrak karena sulit sekali dideskripsikan gaya pakaiannya yang saling tabrak (batik jawa kuno garis vertikal hitam dengan warna dasar coklat yang dipakai terbuka dengan kaos singlet putih tipis didalamnya (yang biasa dipakai koko cina) yang dipadukan dengan blue jeans pudar yang sedikit tersobek) dan rambut yang tidak disisir hingga terlihat seperti Einstein; hingga para pria cupu kutu buku yang selalu mengakhiri harinya diperpustakaan dan pembicaraan seperti politikus yang menggunakan banyak jargon, sangat membosankan!! Kau bisa bebas memilih.

........................

Aku seperti anak ayam yang lepas dari kandang. Ingin terus berlarian dan tidak ingin kembali ke kandang. Terlalu ingin bersenang-senang. Hanya ingin bersenang-senang pada semester-semester awal. Namun 3 tahun itu telah berlalu. Sungguh tidak terasa. Rasanya semua terlewat dengan sangat cepat. Semester-semester awal yang sangat menyenangkan, penuh kegembiraan dengan sedikit terselip cerita duka dan cinta yang tersembunyi. Sangat unik. Sekarang, perasaan ini campur aduk bagaikan gado-gado. Sekarang adalah saatnya aku untuk mengurangi kesenangan itu dan menjadi sedikit lebih serius. Sekarang, aku takut. Sungguh. Nilai-nilai mata kuliahku tidaklah terlalu buruk. Aku tidak terlalu bodoh, hanya saja sekarang aku merasa sangat takut. Tiba-tiba aku teringat perkataan Ayah tiga tahun yang lalu ketika aku baru masuk kuliah, “Kehidupan dimasa tuamu akan ditentukan dalam 4 tahun kedepan.” Aku merasa ingin tenggelam dalam kedua telapak tanganku ini. Aku sadar ini adalah perjuangan terakhirku. Kehidupanku akan ditentukan dalam tinggal hanya 1 tahun lagi. Aku harus melakukan yang terbaik yang aku bisa, hingga tetes darah terakhirku (agak berlebihan). Aku tidak ingin merusak segala sesuatu yang telah aku perjuangkan selama ini. Kini tibalah waktuku untuk bersiap-siap memasuki gedung keramat tersebut yaitu Balairung dan mendapatkan nyanyian dari juniorku. Kini aku yang akan dinyanyikan dan dilepas secara resmi dengan Toga. Kini adalah giliranku yang akan menghadapai hutan rimba yang sebenarnya. Paket mata kuliah yang kuambil semester tujuh ini adalah paket terakhirku dan hanya akan efektif dalam 4 bulan kuliah yang berakhir di bulan Desember tahun ini. Aku harus bisa. Aku ingin membuat orangtuaku bangga kepadaku dan melukiskan senyuman diwajah tua lelah itu. Aku ingin lulus tepat waktu dengan hasil terbaik. Aku ingin dihari wisudaku nanti mendapati tangis bahagia dimata sendu mereka sambil memelukku erat dan mengusap rambutku. Aku ingin menunjukkan bahwa perjuangan mereka tidak sia-sia, bahwa keringat, tenaga, dan materi yang telah dikeluarkan membuahkan hasil. Tidak ada harapan yang sia-sia. Tidak ada harapan kosong. Aku percaya itu, bahwa Tuhan mendengar setiap doa yang kita ucapkan. Dia sungguh peduli. Aku berharap, Tuhan akan mengalihkan wajahnya kepadaku dan berhenti sejenak untuk mendengarkan doa yang sangat sederhana ini. Tidak banyak yang aku minta darinya. Aku hanya ingin bersemangat untuk fokus dalam studiku serta lulus tepat waktu dengan hasil yang terbaik. Kurasa itu bukanlah hal yang muluk dan bukan sesuatu yang tidak mungkin. Halleluya! Amien.