Label

about me (2) CHILDHOOD (1) english (5) family (4) fiction (1) galau (8) gereja (3) jalan-jalan (1) jobseeker (1) junk (5) kuliah (1) memories (9) motivasi (1) prayer (1) quote (5) random (3) skripsi (6) teman (3)

Rabu, 08 September 2010

ARIEF SURODJO

ARIEF SURODJO

Written by Desby Mian Berlianty Pasaribu

Tuesday, September7’ 2010 _ 17.43 PM



Tengah hari pada Kamis, Oktober16’ 2008, jam weker casio deep blue metalikku menunjukkan pukul 1.30 PM.. Hari ini, aku hanya ada satu kelas kuliah yaitu Pajak Atas Lalu Lintas Barang (sebuah mata kuliah yang banyak membahas mengenai aspek perpajakan atas ekspor dan impor barang melalui pelabuhan yang masuk dan keluar dari daerah pabean Indonesia antara lain yaitu PPh 22 impor, PPN, PPnBM, bea masuk dan cukai beserta dokumen-dokumen yang menyertai ekspedisi barang-barang tersebut seperti letter of credit, bill of lading, bank garansi, deposito umum, dll). Aku datang dengan napas terpenggal-penggal memasuki kelas yang terdapat di lantai 3 gedung E (sebenarnya gedung E adalah salah satu infrastruktur kampus yang dapat dikatakan tidak terlalu akomodatif sebagai ruang belajar karena pertama, kursi personal yang mejanya terdiri dari kayu yang belum terkena pernish dan masih berwarna coklat asli yang mungkin umurnya lebih tua dariku atau mungkin kursi itu telah bertengger sejak angkatan pertama kampus ini ada pada zaman kolonial Belanda masih berkuasa, ukurannya tidak normal karena dudukannya lebih rendah dari kursi kuliah pada umumnya serta tidak nyaman dinilai dari segala sudut yang melekat pada bangku tersebut, sungguh terlihat primitif; kedua, penerangan.. aku hampir sulit membedakan apakah ini kelas atau kamar mayat untuk keperluan otopsi korban pembunuhan berantai karena gelap sekali dan remang walaupun terdapat sepasang lampu neon panjang yang terpasang dilangit-langitnya yang rendah, namun tetap saja cahayanya tidak membantu penglihatan kami yang sedang merekam ceramah dosen dalam tinta hitam diatas kertas putih binder bergaris, kemudian efek horor makin terasa ketika ruang kelas sepi dan pendingin ruangan membekukan kulit yang membangkitkan bulu roma seketika, seperti memasuki dunia lain; ketiga, tata letak gedung yang sepertinya pada saat pembangunan tidak menyewa jasa konsultan ahli dalam perencanaan tata letak, memang terdapat jendela disepanjang sisi kiri kelas yang tingginya sekitar 1 meter, tapi apalah guna jika yang kau pandang hanyalah gedung F yang terletak disebelah gedung prasejarah ini yang jaraknya tidak lebih dari 5 meter, hal ini menghalangi cahaya matahari untuk menyelinap kedalam ruangan; keempat, bayangkan pada sebuah kampus yang katanya paling tersohor ketenarannya bahkan sampai ke pelosok papua ujung timur sana tidak memiliki perlengkapan teknologi seperti in-focus, layar pemantul, dan laptop di dalam kelasnya!! Padahal fasilitas tersebut sudah tersedia di gedung-gedung lain di fakultas ini, hal ini yang sulit kumengerti. Serius. Sehingga jika dosen yang telah mempunyai bahan dalam bentuk power point dan berkeinginan menyampaikan materinya dengan peralatan milenium tersebut harus meminta ketua kelas untuk mengambilkannya di departemen, it’s wasting time).

Baiklah kurasa cukup untuk berkomplain ria mengenai keburukan gedung tersebut walaupun masih banyak keburukan lainnya yang belum terungkap seperti kasus para penggelap pajak di negeri mimpi. Karena bagaimanapun aku harus terus menghabiskan waktu semester 3 ku digedung tersebut dan mencoba ikhlas (walaupun sulit sekali rasanya) menerima nasib buruk tersebut. Well, pokok pembahasan dari cerita ini sebenarnya adalah seorang pria tua yang termahkotai helai-helai rambut putih seperti Santa Claus yang selalu hadir pada saat natal dan membagikan kado kepada anak-anak baik diseluruh dunia pada malamnya melalui cerobong asap, namun pria ini tidak berjanggut panjang menjuntai di dagunya, tidak datang secara mengejutkan dengan berteriak “Ho, Ho, Ho..” melalui cerobong asap, dan tidak memakai pakaian yang serba merah kedalam kelas. TIDAK!! Ia seorang pria yang berwajah sangat ramah namun sangat tua yang seharusnya ia sudah tidak pada waktunya lagi berkeliaran di kampus, datang berpakaian rapi ala seragam guru pada umumnya yaitu kemeja bahan biru dongker yang berkerah dengan setelan celana dengan warna dan bahan yang senada, membawa tas koper jinjing hitam lapuk yang pada bagian depannya sudah terdapat kerutan persis seperti keriput yang menghiasi wajah ramahnya, berkacamata lensa plus yang besarnya tidak normal karena hampir menutupi seluruh wajahnya, pria yang berpostur tubuh lumayan tinggi dengan penampilan yang super sederhana dan selalu membawa payung panjang!!

.......................

Aku tiba dikelas dan terkejut dengan sangat karena pria tua yang berjalan lambat seperti kura-kura yang telah hidup ratusan tahun tersebut belum memunculkan batang hidungnya di depan kelas yang seperti kamar jenazah rumah sakit. “Ini tidak biasa..,” aku membatin sendiri. Karena beliau adalah salah satu dosen yang dikenal sangat on-time. Tumben sekali hari ini ia telat. Kemudian aku bertanya kepada seorang teman yang tengah duduk santai sambil memegang handphonenya dan aku mengambil tempat sembarang disampingnya sambil meletakkan tas, “Eh, jeng.. Pak Surodjo kemana? Tumben banget belom dateng!” dan tanpa menoleh ia hanya menjawab dengan 2 kali gelengan kepala yang menandakan dirinyapun tak tahu dimana pria tua itu sekarang dan kembali sibuk dengan handphonenya untuk berpesbuk. Oh, tidak, ternyata hasrat alamku memanggil untuk melakukan ritual kecil di rest room, maka aku keluar kelas dan mendatangi ruangan yang menjadi saksi bisu setiap kali aku melakukan ritual suci tersebut, terletak di ujung kelas. Selesai dari ritual tersebut dan aku merasakan sensasi kelegaan yang luar biasa. Ketika aku ingin kembali ke ruang kelas, tiba-tiba mataku tertuju pada satu ruangan kelas gelap dan kosong dengan satu pintu terbuka setengah, aku melihat sebuah sosok yang tergambar dalam siluet hitam didalam ruangan kelas tersebut. Sontak aku kaget setengah hidup, ku pikir aku sedang melihat suatu penampakan makhluk dari kehidupan baka di siang bolong. Namun, aku memundurkan beberapa langkahku kembali dengan tanpa suara yang teredam dalam sepatu kets ADIDAS abu-abu dekil pemberian Mama pada saat aku menjadi pelajar kelas 2 tingkat atas dulu. Sosok itu terdiam terpaku tanpa gerakan sedikitpun dan melontarkan pandangannya keujung kelas yang kosong dengan tanpa cahaya lampu neon panjang yang menyala. Ia duduk seorang diri di dalam keremangan mengarahkan tubuhnya menghadap barisan bangku kuliah kosong yang tidak kalah terpakunya dengan sosok itu. Aku memberanikan diri melongok kedalam, suasana lorong gedung pada saat itu sangat sunyi dan hanya aku yang sedang mempertaruhkan imanku untuk sebuah rasa penasaran yang menyerbu tiba-tiba dan tidak dapat kukendalikan dibawah cahaya lampu oranye ber-watt rendah yang menambah suasana horor seperti sedang berada di dalam gedung rektorat tingkat tujuh dimana para mahasiswa bengal mengakhiri karir mereka tanpa gelar, alias Drop Out.

....................

“Bingo!!” Aku berteriak dalam hati dengan penuh kelegaan karena mendapati sosok dalam bayangan siluet hitam tersebut bukan hal buruk seperti imajinasiku. Ia adalah Tuan Arief Surodjo, Dosen yang seharusnya telah mengajar diruang kelas E.201 dari 20 menit yang lalu ternyata dalam sunyi yang mencekam dan kesabaran tingkat tinggi menunggu kedatangan mahasiswanya yang tidak satupun muncul di ruang kelas E.204. Kemudian dengan sedikit keraguan melangkah masuk, aku menghampirinya dan berkata dengan suara yang hampir berbisik, “Pak, ruang kelasnya di 201..” Beberapa detik kemudian ia baru tersadar dari lamunannya dan menjatuhkan tangannya yang dari tadi menopang dagunya dengan kacamata yang telah meluncur hingga pangkal hidungnya namun tanpa ekspresi, lalu berdiri dengan senyum terukir tipis di bibirnya menatap ramah kearahku dan mengikutiku keluar ruangan angker tersebut.

Dikelas suasana bak pasar ikan yang heboh di pagi hari Muara Angke, para mahasiswa yang perilakunya tidak jauh beda dengan anak TK; ada yang menaikkan kaki dan menyilangkannya di kursi meja yang ia duduki bak seorang bos sebuah perusahaan besar, ada yang menengkurapkan kepalanya ketiduran karena bosan, ada yang sedang bergosip dilantai ubin, ada yang sedang lempar-lemparan binder, ada yang sedang asik sendiri dengan laptop, ada yang sedang melamun sambil mendengarkan lagu melalui MP3 Playernya, ada yang sedang bertelepon dengan pacarnya, ada yang sedang membuat lelucon dan mempraktekkannya di depan teman-temannya dan semua itu terhenti seketika bagaikan pemadaman listrik oleh PLN yang mematikan seluruh peralatan elektronik sehingga tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Semua kembali ketempat duduknya masing-masing tanpa dikomando dan duduk dengan manis.

......................

Pak Surodjo mulai kembali berdongeng mengenai alur masuknya barang dari luar daerah pabean Indonesia ke dalam daerah pabean Indonesia sambil sekali-kali menggambar diatas whiteboard yang sekarang tidak dapat dikatakan lagi white (putih) karena warnanya sudah seperti kain pel yang dipenuhi oleh debu dari rumah yang telah ditinggali selama satu dasawarsa dan menuliskan beberapa istilah bahasa Belanda dan Inggris, namun lebih banyak menghabiskan waktunya di kursi kebesarannya sebagai manusia yang paling pintar di kelas pada saat itu. Tidak lama kemudian ia menerima sebuah telepon dari handphonenya yang bernada dering alunan musik instrumen jawa yang lembut dan lambat. Kemudian ia mengangkat telepon genggamnya tersebut yang sedari tadi tidak berpindah tempat dari sejak pertama kali ia diletakkan yaitu dimeja tepat di samping dimana ia membaringkan payung panjang hitam polosnya.

Kemudian ia menekan tombol jawab yang berwarna hijau untuk menjawab telepon yang masuk dan berkata “Haloooo...” sambil mengayunkan tangannya dengan sangat lambat sebelum alat canggih tersebut tiba disamping telinganya dan ketika alat canggih tersebut sudah tiba ditelinganya suara bassnya pun telah teredam. Aku dan yang lain memperhatikan tingkah yang tidak biasa dari dosen tersebut sambil menahan tawa tanpa suara, geli sekali. Ia berucap “Halo” sebelum handphone nokia seri jadulnya tiba di tempat seharusnya ia diucapkan!!! Dulu aku sempat tertipu oleh penampakan wajah kasar Pak Surodjo yang seperti permukaan rembulan yang mengambil alih giliran tugas ketika sang surya mulai lelah, dalam prediksiku saat itu, beliau adalah salah seorang yang menganut sistem keteraturan sosial dalam bentuk marga dimana suku tersebut hidup disalah satu domain teritorial Sumatera yang tersohor karena terdapat sebuah pulau ditengah danau tekto-vulkanik yang masuk dalam jejeran danau terbesar didunia. Ternyata aku meleset total ketika ia mulai berdongeng dan memperkenalkan dirinya dengan dialek khas orang asli nama pulau dimana aku hidup sekarang yaitu Jawa, tepatnya Jawa Tengah.

...................

Beliau adalah orang yang sangat langka, satu-satunya didunia dan yang lebih terhormatnya lagi ia berada di Indonesia. Ia harus dikonservasikan!! Dimasa kejayaannya dulu ia bekerja di salah satu instansi pemerintah yang berkonsentrasi pada mata kuliah yang sedang ia ajarkan saat ini yaitu Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Ya, tidak diragukan lagi kapabalitasnya dalam hal penguasaan materi mata kuliah tersebut karena ia dahulu adalah seorang praktisi yang berubah haluan menjadi akademisi. Satu-satunya dosen yang tidak pernah menunjukkan emosinya dan selalu berbicara dengan frekuensi yang sama, entahlah sulit sekali mengerti apa yang ia rasakan. Anehnya, seberisik apapun kelas ia seperti kereta api yang tidak perduli apa yang ada didepannya, gas trussss... Sudah 3 kali sesi kelas, ia terus saja tanpa sadar mengajarkan materi yang telah ia ajarkan pada minggu sebelumnya dan catatan kami seperti tumpang tindih karena penjelasan yang sama dari minggu ke minggu. Tidak hanya itu, ternyata ia juga cukup sering melakukan tindakan abnormalnya yang menunggu mahasiswanya datang dikelas yang salah dan masih dengan gaya yang sama ketika menerima incoming call pada handphonenya. Aku curiga bahwa ia telah mengidap penyakit pikun akut. Satu-satunya dosen yang datang pada saat ujian ketika hujan menyerbu dengan naik ojek dan melindungi dirinya dengan payung yang biasa ia bawa kemana-mana dan ketika tiba dikelas dengan basah kuyub ia melepaskan sepatu fantopel hitamnya, kemudian melepaskan kaos kakinya yang basah dan menjemurnya dengan santai di bawah kursi layaknya sedang menjemur pakaian dirumahnya, jadilah ia bertelanjang kaki. Sepertinya ia kedinginan karena seluruh pakaiannya basah ditambah pendingin ruangan yang di set dengan sangat rendah terlihat dari sedikit gertakan gigi yang gemetar namun masih berjuang untuk mengawasi para mahasiswanya menjalani kewajiban besar untuk lulus semester tiga. Beliau memang baik dan sangat sabar tapi siapa yang menduga bahwa dirinya adalah seorang tenaga pengajar tingkat universitas yang sangat pelit nilai dengan memukul rata semua nilai kelas yaitu B+. TIDAAAAAAAAAAAAAAAKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK......!!!!

Ini sungguh mengesalkan ketika aku mendapati transkrip nilai semester 3 dan meluapkan beberapa letupan emosi yang seperti petasan cabe. Sekarang aku telah memasuki semester tujuh, aku benar-benar sudah tidak pernah mendapat kabar dari dosen fenomenal tersebut bahkan melihat batang hidungnya dikampus saja tidak. Mungkin ia pada akhirnya sadar bahwa sudah saatnya ia menikmati masa tuanya untuk beristirahat atau mungkin menghabiskan waktu jalan keluar negeri... mungkin...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar